Skip to content
Home » Tarif PPN di UU HPP Terbaru

Tarif PPN di UU HPP Terbaru

  • by
tarif-ppn

Dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pemerintah telah menetapkan terjadinya kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) secara bertahap yakni dari 10% pada tahun 2021 menjadi 11 persen yang mulai berlaku pada 1 April 2022 dan 12 persen yang berlaku paling lambat 1 Januari 2025. Kebijakan ini mempertimbangkan kondisi masyarakat dan dunia usaha yang masih belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi Covid-19. Jika dilihat secara global, tarif PPN di Indonesia relatif lebih rendah dari rata-rata dunia sebesar 15,4%, dan juga lebih rendah dari Filipina (12%), China (13%), Arab Saudi (15%), Pakistan (17%) dan India (18%).

Ruang Lingkup Pajak Pertambahan Nilai di UU HPP

  1. Penghapusan barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan dari barang dan jasa yang tidak dikenai PPN (negative list) dan memindahkannya menjadi barang dan jasa yang dibebaskan dari pengenaan PPN sehingga masyarakat berpenghasilan menengah dan kecil tetap terlindungi dari kenaikan harga karena perubahan UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
  2. Pengurangan atas pengecualian dan fasilitas PPN agar lebih mencerminkan keadilan dan tepat sasaran.
  3. Kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen yang mulai berlaku 1 April 2022, kemudian menjadi 12 persen yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.
  4. Kemudahan dan kesederhanaan PPN dengan tarif final untuk barang atau jasa kena pajak tertentu.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

tarif-ppn

Secara garis besar, pengaturan kembali PPN terdapat pada objek dan fasilitas PPN, kenaikan tarif, serta kemudahan dan kesederhanaan pemungutan PPN.

Objek dan Fasilitas PPN

Untuk memperluas basis pemajakan, non BKP (barang kena pajak) dan non JKP (jasa kena pajak) menjadi BKP dan JKP. Namun, masih terdapat barang dan jasa yang tidak dikenakan atau mendapatkan fasilitas PPN.

Barang tidak dikenakan PPN di antaranya:

  1. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, dan sebagainya.
  2. Uang, emas batangan untuk kepentingan devisa negara
  3. Jasa keagamaan
  4. Jasa kesenian dan hiburan
  5. Jasa perhotelan
  6. Jasa yang disediakan oleh pemerintah
  7. Jasa penyediaan tempat parkir
  8. Jasa boga atau katering.

Sedangkan untuk barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan rakyat banyak dan barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya (tidak termasuk hasil pertambangan batu bara), diberikan fasilitas dibebaskan pengenaan PPN secara selektif dan terbatas.

Di sisi lain, jasa non-JKP, seperti jasa pelayanan kesehatan medik dan jasa pelayanan sosial, dikenakan fasilitas tidak dipungut pengenaan PPN, yang diberikan secara selektif dan terbatas.

Kenaikan Tarif PPN

Kenaikan tarif ini tentu akan memberikan dampak kepada pengusaha kena pajak yang memiliki peredaran usaha dalam satu tahun tidak melebihi jumlah tertentu.

Tarif PPN yang semula 10% akan naik menjadi 11% pada 1 April 2022, dan akan menjadi 12% yang paling lambat akan diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2025. PPN dikenakan atas konsumsi BKP dan/atau JKP di dalam Daerah Pabean. Karena itu, atas ekspor BKP dan/atau JKP untuk konsumsi di luar Daerah Pabean dikenai PPN dengan tarif 0%.

Seperti yang kita ketahui, banyak pengusaha kecil yang dengan batasannya ditetapkan Menteri Keuangan dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP. Ini tercantum dalam Pasal 3A, UU No. 42/ 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN).

Sementara menurut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 197/PMK.03/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan No. 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai, pengusaha kecil adalah yang peredaran brutonya tidak lebih dari Rp4,8 miliar selama satu tahun buku.

Namun, dilapangan dapat kita temui, banyak pengusaha yang memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP meskipun peredaran usahanya kurang dari Rp4,8 miliar. Oleh karena itu, PKP yang peredaran usahanya dalam satu tahun tidak melebihi jumlah tertentu dapat menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan dalam menghitung jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.

Hal ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang Mempunyai Peredaran Usaha Tidak Melebihi Jumlah Tertentu.

Sesuai dengan ketentuan tersebut, besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan yaitu sebesar 60 persen dari Pajak Keluaran untuk penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) atau 70 persen dari Pajak Keluaran untuk penyerahan Barang Kena Pajak (BKP). Artinya, PKP yang masuk kategori tersebut hanya menyetor 4 persen atas penyerahan JKP dan 3 persen atas penyerahan BKP. Adapun dalam UU PPN, PKP secara umum wajib memungut PPN dengan tarif 10 persen.

Sementara itu, dengan hadirnya UU HPP yang menetapkan kenaikan tarif PPN secara bertahap, pemerintah menegaskan PKP dengan peredaran usaha dalam satu tahun buku tidak melebihi jumlah tertentu dapat memungut dan menyetorkan PPN dengan besaran tertentu yang lebih rendah atau disebut tarif final dari nilai penyerahan BPK dan/atau JKP.

Kemudahan dan Kesederhanaan

Dalam UU HPP cakupan PPN, terdapat perubahan peraturan mengenai perhitungan, pemungutan, dan penyetoran PPN. Pada perhitungan PPN, pajak terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif PPN dengan dasar pengenaan pajak (DPP) yang meliputi harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau lainnya.

Lalu, untuk kemudahan dalam pemungutan PPN, atas jenis barang/jasa tertentu atau sektor usaha tertentu diterapkan tarif PPN ‘final’, misalnya 1%, 2%, atau 3% dari peredaran usaha, yang diatur dengan PMK.

“Hal ini bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kesederhanaan dalam pemungutan PPN untuk barang/jasa tertentu atau sektor usaha tertentu,” demikian keterangan resmi Kementerian Keuangan yang kami kutip. Kementerian Keuangan menegaskan bahwa ketentuan mengenai tarif final ini akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Kita tunggu saja!